Syahdan sesosok lelaki setengah baya mengenakan jubah dan tongkat di sebelah tangan kanannya berjalan kaki dari hutan ke hutan. Di tengah perjalanan, lelaki itu merasa kelelahan dan beristirahat di bawah pohon rindang. Di atas dahan pohon ramai dua pasang burung berkericit sedang saling bermesraan. Melihat lelaki berjubah, sang betina mulai ketakutan dan mengajak sang pejantan untuk mencari tempat yang lebih aman. Pejantan enggan memenuhi ajakan betina karena ia percaya lelaki berjubah itu seorang alim yang tidak akan berniat jahat. Mendengar ucapan si jantan, betina merunduk dan kedua pasangan itu kembali saling berkericit karena rasa riangnya tenggelam dalam hubungan kemesraan.
Di luar dugaan rupanya lelaki berjubah tak tahan menahan syahwat kelaparan. Tidak ada pilihan lain, sang pejantan itu ditebasnya hingga roboh tak bernyawa lagi. Ia mencacah-cacah burung jantan itu dan memasaknya kemudian dilahapnya daging burung itu hingga ludes. Sang betina dari jauh lemas, geram dan bercampur kecewa menatap lelaki berjubah itu yang dengan teganya melahap belaian hatinya. Sang kekasih yang selama ini paling dicintainya.
Kisah di atas merupakan sindiran kreatif seolah menegaskan kepada kita sekurang-sekurangnya dua peristiwa yang sering mewarnai kehidupan umat manusia. Pertama, seseorang seringkali bad trip ( terjebak) memandang yang lain hanya dari sisi lebelitas lahir /simbolik tanpa dilacak dari subtansi kedalaman prilakunya kelak. Burung yang menjadi mangsa kejahtan manusia berjubah jelas merupakan kurban manusia sombolik yg dinilainya alim lagi saleh tetapi kenyataannya penebas nyawa. Muhamad Thabathobe'i dalam bukunya Tafsir Al-Mizan menyebutnya dengan الانسان الرمزي (manusia casing/simbolik) yaitu manusia yang dalam penampilan lahirnya berlambang saleh. Bahasanya memukau. Tapi kedalaman hatinya wadag dan kumal.
Kedua, pada umumnya konsistensi manusia mudah roboh diterejang sifat keserakahannya. ia tidak merasa cukup dari kemapanan yang telah digenggamnya. Satu telah dinikmati ia melirik lagi ke gelimang kenikmatan yang tak berujung. Burung yg dicacah-cacah itu menandakan betapa di dunia ini manusia teramat serakahnya. Tidak cukup dengan sekerat daging yg dimangsanya. Manusia dengan ganasnya membelah, mencacah dan menusuk daging-daging hewan itu dengan bambu runcing dan memanggangnya di atas api yg bergolak.
Keserakahan hidup itu menghiasi pula kepada sebagian kaum elit yang dalam penglihatan lahir tampak bahagia. Berbaju jas dan berdasi necis terlihat kaya karena menjadi pejabat dan interperneur yang perusahaannya ada di mana mana. Bahasanya memukau padat dengan pesan- pesan dan percikan etika bagai sang Nabi.
Pakain necis dan gelimang kekayaanya itu tidak lebih hanyalah simbolisme. Mereka adalah syahwat manusia berjubah yang bermental cengeng dan melarat krena kini mereka digiring oleh malaikt dunia dan dijebloskan ke penjara. Inilah barangkali yang dimaksud dengan firman Tuhan. " Sebagian diantara manusi hanya bisa mengabdi pada Tuhannya di pinggiran". "Bila menerima kenikmtan mereka bahagia tetapi bila mendapat ujian mereka kembali ke jalan sesat. Sungguh mereka berada di tebing kerugian" ( Q.S . 22: 11). Nauzubillah!
0 Komentar